FIKSI BERDIKSI

Sarah: Velovsky

image

Perkenalkan, aku Sarah. Jenis kelamin wanita. Umur 17 tahun. Aku akan menyelesaikan pendidikan doktoral bidang Teknologi Pengobatan Bionuklir dan Rekayasa Genetika di Sekolah Tinggi Ilmu Bionuklir di Velovsky, sebuah kota modern di langit Rusia yang telah hancur akibat Perang Dunia IV.

Sekitar 50 tahun lalu, tepatnya pada 2076, Korea Utara, yang sebelumnya telah berhasil menguasai Korea Selatan dan Amerika Serikat, menginvasi Rusia.

Rusia yang saat itu dipimpin oleh Presiden Leonard Konchasevic, seorang keturunan Inggris-Serbia, akhirnya harus takluk setelah pimpinan Korea Utara Kim Wu Yang memerintahkan militernya menjatuhkan bom biologi di Moskow pada 19 Agustus 2076.

Untungnya, mata-mata Rusia yang mendapatkan informasi penyerangan tersebut berhasil memperingatkan militer untuk segera memindahkan Presiden Konchasevic dan pemerintahannya ke Saint Petersburg sehari sebelum bom itu dijatuhkan.

Hari itu, tepatnya Selasa, 18 Agustus 2076, masyarakat Moskow masih melaksanakan kegiatan sehari-sehari. Murid-murid masih masuk sekolah seperti biasanya. Para orang tua masih bekerja di kantor. Lalu lintas ramai. Tak ada tanda-tanda bahwa esoknya kota tersebut akan menjadi kuburan massal.

Kira-kira pada pukul 9.00 pagi saat keramaian sedang terjadi di Moskow, bom biologi menghantam Katedral St. Basil di kota tersebut. Bom tersebut dijatuhkan dari sebuah pesawat siluman Korea Utara dengan kode AGMA 52 yang gagal dihalau pesawat tempur milik militer Rusia.

Bom dengan lebar 50 cm dan panjang 150 cm tersebut membawa formula biologis yang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan dan mendorong manusia untuk saling membunuh.

Konchasevic yang sudah dipindahkan ke Petersburg mencoba membalas dengan mengirimkam pesawat pembom ke Korea Utara. Namun, pesawat itu berhasil ditembak jatuh.

Perang Dunia IV merupakan perang dingin antara Korea Utara dan Rusia. Keduanya merupakan bagian dari tiga blok kekuatan dunia pada saat itu. Blok lainnya adalah Koalisi Negara Timur Tengah di bawah pimpinan Iran.

Setelah berhasil menaklukkan Korea Selatan dan Amerika Serikat pada 2070, Kim Wu Yang lebih memilih untuk menyerang Rusia mengingat kekuatan negara tersebut lebih lemah dibandingkan dengan Koalisi Negara Timur Tengah.

Pada masa itu, Amerika Serikat boleh dibilang bernasib paling sial. Setelah terus diteror oleh negara-negara di Timur Tengah sejak kejadian 11 September 2001 yakni ketika dua pesawat yang diduga dibajak oleh teroris Timur Tengah menghantam menara World Trade Center (WTC) dan merubuhkan simbol ekonomi Amerika Serikat tersebut dalam sekejap.

Berbagai konspirasi beredar pada saat itu. Salah satu teori konspirasi paling terkenal menjelaskan kejadian runtuhnya gedung WTC tersebut dilakukan oleh pihak Amerika Serikat untuk membuat alasan dalam memerangi teroris sekaligus melakukan invasi ke Irak guna menjatuhkan rezim tirani Saddam Husein.

Teori tersebut bukanlah sebuah konspirasi belaka karena ada kebenaran fakta di dalamnya. Menurut laporan intelijen Rusia pada saat itu yang dapat saya unduh dari pusat data rahasia di Pepustakaan Nasional Velovsky, pada kenyataannya pelaku pembajakan pesawat tersebut merupakan warga Mesir,  Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Libanon.

Pada pagi 11 September 2001, 19 pembajak mengambil alih empat pesawat komersial yang sedang terbang menuju San Francisco dan Los Angeles setelah lepas landas dari Boston, Newark, dan Washington, D.C. Pesawat dengan penerbangan jarak jauh sengaja dipilih untuk dibajak karena mengangkut bahan bakar yang banyak.

Pukul 8.46 pagi, lima pembajak menabrakkan American Airlines Penerbangan 11 ke Menara Utara WTC dan pada pukul 9.03 pagi, lima pembajak lainnya menabrakkan United Airlines Penerbangan 175 ke Menara Selatan (2 WTC). Selain itu, lima pembajak menabrakkan American Airlines Penerbangan 77 ke Pentagon pada pukul 9.37 pagi.

Pesawat keempat, di bawah kendali pembajak, menjatuhkan United Airlines Penerbangan 93 dekat Shanksville, Pennsylvania pada pukul 10.03 pagi setelah penumpangnya melawan para pembajak. Target Penerbangan 93 diduga adalah U.S. Capitol atau Gedung Putih.

Rekaman suara kokpit Penerbangan 93 menemukan bahwa awak pesawat dan penumpang berusaha mengambil alih pesawat dari pembajak setelah mempelajari lewat telepon tentang pesawat-pesawat lain yang dibajak telah ditabrakkan ke beberapa bangunan pada pagi itu.

Setelah muncul bukti kuat bagi pembajak bahwa penumpang akan mengambil alih pesawat, seorang pembajak memerintahkan temannya untuk memutar pesawat dan sengaja menjatuhkannya. Akhirnya, Penerbangan 93 jatuh di sebuah lapangan dekat Shanksville, ungkap laporan tersebut.

Badan Keamanan Negara Amerika Serikat akhirnya menemukan bahwa al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden bertanggung jawab atas serangan ini, Namun, kemudian teori konspirasi muncul bahwa serangan ini terlalu rapi jika dilakukan oleh warga Timur Tengah yang dianggap tidak terlalu cerdas untuk menyusun serangan sesempurna itu.

Namun, sekarang Amerika Serikat yang kini berada di bawah Negara Kesatuan Komunis Korea Utara harus mengakui bahwa pada penyerang WTC pada 2001 itu memang orang-orang brilian dengan kecerdasan di atas rata-rata. Terbukti, saat ini, Koalisi Negara Timur Tengah menjadi kekuatan yang menakutkan di dunia.

Jadi, memang pada 2001, Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden George Walker Bush benar-benar ketakutan menghadapi serangan teroris dari Timur Tengah sehingga melancarkan serangan pada Irak dan Afganistan yang dinilai sebagai salah satu basis pembibitan para teroris.

—————————–

Tulisan ini merupakan draft cerita panjang yang saya kerjakan pertengahan Juli tahun lalu. Entah kenapa saya kembali membuka cerita fiksi ini. Lalu, pikiran saya melayang ke Crimea…ke Rusia. Tiba-tiba bulu kuduk ini bergidik ngeri…

Standard
FIKSI BERDIKSI

September

Alunan lagu Greenday “Wake Me Up When September Ends” terus diputar berulang-ulang sejak siang tadi. Entah apa maksudnya, tetapi dia tampak begitu gusar tak terkendali.

Agustus akan segera pergi dan September muncul tak lama lagi. Kepergian Agustus menyisakan September, Oktober, dan November untuk kemudian bersua kembali.

Kepergian Agustus menyisakan kegusaran baginya. Pada Agustus dia membuka rasa dan pada September dia bercerita.

Sementara itu, Oktober dan November hanya menyisakan luka, meninggalkan rasa putus asa, kecewa, dan duka. Tak ada lagi katalis baginya.

Selama ini, Juli menjadi katalis sebelum Agustus bersemi. Juli akan pergi saat September kembali.

Desember, Januari, dan Februari hanyalah masa kosong tanpa arti. Kutunggu kau kembali walau tanpa janji.

Standard
FIKSI BERDIKSI

AP27364

aspxAP27364

Kau adalah serangkaian angka yang disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah makna. Tanpa bermaksud memuja, kau keras kepala tetapi membawa pesona.

Pesonamu menghadirkan keingintahuan untuk memecahkan ratusan juta angka tak beraturan, untuk membuka setiap lapisan kode yang harus dipecahkan.

Kau adalah serangkaian angka rapuh, walaupun dari luar pertahananmu tampak begitu kokoh tak tersentuh.

Butuh waktu untuk membuka setiap lapisan itu. Butuh taktik jitu untuk mengungkap masa lalumu dan membawamu kepada pemikiran dan era baru.

Aku masih memikirkanmu, memecahkan setiap deret angka itu, menguak lapis per lapis rahasiamu.

Standard
FIKSI BERDIKSI, OPINI BERSERI

Menjadi Tua

aspx grandma

Malam telah larut. Di atas dipan tua beralaskan tikar pandan itu, dia masih berceloteh.

“Kapan kakakmu menikah? Kerja dimana dia sekarang? Suruh dia cepat menikah agar ada yang merawatnya,” kata wanita itu dengan suara paraunya.

“Iya. Sekarang dia masih bekerja. Katanya ingin mencari uang terlebih dahulu,” tuturku sambil berbaring memandang langit-langit rumah tua itu yang penuh dengan sarang laba-laba.

“Kamu kapan menikah? Jangan iya iya saja,” tanyanya.

Aku merasa laba-laba yang sedang bersantai di sarangnya tiba-tiba berubah besar lalu melompat ke arahku. Menindihku. Lalu kedua kaki depannya mengoyak mulutku hingga aku tak bisa berbicara dan kemudian memakan kepalaku hingga terlepas.

“Emm, saya mau melanjutkan kuliah terlebih dahulu dan kemudian menikah,” kataku.

Wanita tua itu tidak berkata apa-apa. Kemudian dia kembali berceloteh tentang banyak hal, entah apa. Aku hanya menjawab: “Iya, baik, betul, baik, iya”. Hanya itu.

Awalnya aku agak malas meladeninya. Namun, dalam celotehannya itu, aku merasakan perhatiannya, kasih sayangnya, dan rasa sepinya.

Tubuhnya bungkuk dan rapuh. Kalau berjalan, dia harus menggunakan tongkat. Ketika aku datang menjenguknya, dia hanya menatap kosong dari balik jendela. Ketika aku mencium tangannya, tatapan kosong itu perlahan memudar walaupun masih menyisakan rasa sepi di dalam dirinya.

Sambil berbaring menatap langit-langit ditemani laba-laba raksasa yang telah menelan kepalaku, aku memikirkan berbagai celotehannya.

Menjadi tua. Semuanya akan menuju ke sana. Hanya sepi yang tersisa.

Standard
FIKSI BERDIKSI

Kita

aspx_kita

Malam ini kita akhirnya bercerita. Kita jujur berkata jika kita saling mencinta. Entah apa sebabnya, tetapi malam ini  semuanya terbuka, walau tanpa rasa, duka, maupun suka.

Mungkin kau masih mengingat saat pertama kita berjumpa. Di beranda gedung rakyat itu kita duduk berdua dan menunggu, entah apa. Lalu dilanjutkan dengan perjalanan bersama ke tepian Selat Sunda. Tanpa rencana dan entah kenapa kita ke sana.

Kau pria biasa dan aku wanita tak sempurna. Aku mengerti perasaanku pada saat itu harus dibuat beku dan kukubur di bawah batu agar tak seorang pun tahu, termasuk aku. Aku mengerti kau juga begitu.

Alasannya sederhana, karena apa yang kita rasakan ini tak mungkin diwujudkan dalam nyata. Perasaan ini menjadi fana saat kita sadar bahwa ada pria dan wanita lain yang telah menitipkan cintanya terlebih dahulu di hati kita.

Hari ini, kalian masih berjalan beriringan dengan sebuah impian. Aku pun demikian. Pria itu ternyata telah berhasil meluluhkan hatiku, membawaku kepada sebuah janji yang kami padu. Mungkin, tahun depan kami akan segera berbulan madu.

Aku tak menyesal. Kuharap kau pun tidak. Semoga kita berbahagia.

Dari jauh aku hanya bisa mengatakan: “Aku rindu menatap laut biru bersamamu…”

Standard
FIKSI BERDIKSI

HAWA

aspx hawa“Kenapa dia tiba-tiba mau resign ya?” pikirku. “Apakah karena suasana di tempat ini sudah tak begitu nyaman sehingga dia harus keluar? Atau apakah karena dia ingin mengabdi kepada seorang pria yang akan segera dinikahinya bulan depan? Apakah karena itu dia memilih untuk resign?” batinku.

Hampir setengah jam aku duduk di tangga lobby kantor tempatku bekerja. Setelah lelah seharian kesana-kemari, aku terpaksa kembali ke kantor untuk sekadar menaruh salah satu jariku di mesin absensi. Tiga kali dalam seminggu aku harus melakukan hal itu. Kalau tidak, aku bisa dicap sebagai pembangkang aturan.

Sebenarnya, cap itu sudah melekat di diriku sejak dua tahun lalu. Meskipun aku sudah bekerja keras seperti orang gila, tetapi tetap saja kontrak kerjaku diperpanjang karena aku jarang hadir di kantor. Hingga akhirnya, aku harus menunggu selama 2 tahun untuk menunggu surat keputusan pengangkatan sebagai pekerja tetap di kantor ini diberikan. Namun, selalu saja kehadiranku di kantor mendapat sindiran.

Dulu, seingatku tidak ada aturan yang mewajibkan orang-orang sepertiku hadir di kantor. Sebagai pekerja lapangan, kembali ke kantor adalah sebuah misi yang berat. Mungkin, lebih berat dari misi yang dijalankan Tom Cruise dalam film “Mission Impossible” atau lebih mengerikan dibandingkan dengan tugas seorang pembersih kaca gedung-gedung pencakar langit.

Anggapan ini tidak mengada-mengada karena Jakarta rasanya seperti neraka. Jalanan Jakarta membuat orang-orang sepertiku harus ekstra sabar. Jarak 500 meter harus ditempuh dalam sejam. Jadi, orang-orang sepertiku banyak yang menjadi tua di jalanan. Separuh dari umur mereka dihabiskan di tengah barisan kendaraan yang tak bergerak hingga aku menyebut jalanan di kota ini sebagai tempat parkir terluas di dunia.

Jam tangan sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku masih duduk di tangga lobby kantor. Entah apa yang membuatku betah atau entah siapa yang aku tunggu. Namun, malam ini begitu sendu. Tak ada lagu, yang ada hanya rindu. Entah rindu apa atau siapa.

Di langit, bulan tampak malu-malu menyeruak di antara awan kelabu dan dua tower apartemen  yang penghuninya sebagian besar adalah eksekutif muda atau istri simpanan para pejabat yang mungkin dibeli menggunakan uang hasil korupsi. Sementara itu, aku, hanya tinggal di sebuah kos-kosan di pinggiran kota yang harganya mungkin sepersepuluh dari harga sewa bulanan apartemen tersebut.

Angin dingin malam membasuh wajahku. Aku kembali memikirkan temanku yang hendak mengajukan surat pengunduran diri kepada atasannya.

Tiba-tiba aku merasa sesak. Rasanya ingin menangis. Mungkin perasaanku memang sedang kacau balau karena ini hari pertama siklus kewanitaanku datang. Entah mengapa, aku membayangkan ketika suatu saat nanti menjadi istri seorang pemuda tampan yang hadir dalam mimpiku setiap malam. Meskipun, saat ini, aku belum tau siapa pemuda beruntung itu. Hehehehe…

Yang membuatku pedih adalah memikirkan apakah nasibku akan sama seperti teman tadi. Aku kembali mempertanyakan apa sebenarnya hakikat menjadi seorang perempuan. Apakah, seperti kata orang-orang, perempuan ditakdirkan menjadi pelengkap di dunia ini? Apakah perempuan hanya menjadi pemain figuran? Atau apakah perempuan selamanya akan menjadi salah satu tulang rusuk pria yang hilang?

Aku terbayang suatu saat nanti aku harus bangun pukul 4 pagi, menyiapkan air hangat untuk mandi suami, memasak sarapan pagi, menyeduh kopi, menyiapkan pakaian untuk dipakainya bekerja, mengurus anak, mencuci pakaian kotor, membersihkan rumah, dan membereskan semua kekacauan itu.

Kadang aku menyesali mengapa aku harus menuntut ilmu setinggi ini kalau ujung-ujungnya segala pengetahuan itu hanya dihabiskan di dapur, ruang keluarga, kamar mandi, di atas ranjang, pasar, tempat pengajian, atau restoran ibu-ibu kumpul arisan.

Memang, aku sering menjadi terbaik di antara para pria rekan-rekan seprofesiku. Aku merasa lebih pintar dan hebat dari mereka. Namun, tetap saja, ketika nanti aku berkeluarga, semuanya akan musnah karena sesuai kodratku sebagai wanita, maka aku wajib menjadi nomor dua di belakang suamiku.

Apakah memang wanita ditakdirkan dengan derajat lebih rendah daripada para pria? Kadang aku merasa terhina. Teringat kembali posisiku di keluarga yang hanya dianggap sebagai pelengkap.

Ketika aku belum hadir ke dunia ini, mereka mengatakan kelahiranku akan melengkapkan semuanya. Anak lelaki mereka telah muncul lebih dulu, dan aku hanya diharapkan sebagai pelengkap. Pelengkap kebahagiaan mereka.

Jadi, aku berpikir sejak lahir hingga mati, wanita akan selamanya ditakdirkan di bawah pria. Tidak ada harapan bagi kami. Semua yang kulakukan selama ini tak cukup untuk mengangkat derajatku karena ujung-ujungnya aku akan berada di pelaminan, dengan tali yang diikatkan di leherku guna melayani pria tampan itu.

Jargon emansipasi wanita “habis gelap terbitlah terang” yang dicetuskan Kartini, yang katanya sang pahlawan wanita nasional itu, ternyata belum cukup meyakinkanku bahwa wanita akan terangkat derajatnya. Lihat saja betapa banyak kasus kekerasan terhadap wanita, poligami semakin marak, hingga para pria bernafsu bejat yang menikahi wanita di bawah umur bahkan yang masih duduk di bangku SMP.

Kadang aku merasa haram untuk menikah. Aku tidak ingin hidupku dihabiskan sia-sia mengurusi dia atau anak-anak dari hasil persetubuhan kami. Aku tak sanggup membayangkan jika anak-anak itu rewel, menangis, menjerit, maka aku akan ikut berteriak, mengambil kepala mereka yang mungil lalu kubenturkan ke tembok hingga diam. Atau, kututup mulut mereka dengan bantal hingga kehabisan nafas.

Bahkan, yang paling mudah, tanpa darah atau jejak lainnya, kutenggelamkan saja mereka di dalam bak kamar mandi. Kemudian, aku mengubur mayat mereka di kebun mawar di halaman belakang rumah. Lalu di atas gundukan tanah itu, kutanami melati, mawar, kamboja, anggrek, dan berbagai bunga lainnya agar pusara mereka selalu harum dan tampak indah dihinggapi kupu-kupu. Tak ada yang tahu.

Begitu suamiku menanyakan kemana anak-anak itu, maka dari belakang akan kujerat lehernya menggunakan kawat hingga dia tak bernyawa. Tubuhnya yang beku kumasukkan ke bagasi mobil kami, lalu kubawa ke gunung dan kulempar mayatnya ke jurang.

Semuanya aman, tak ada yang tahu. Ketika mereka telah pergi, maka aku akan kembali menjadi wanita yang kuat, seorang wanita yang menggebu-gebu, bersemangat, berhasrat, untuk menjadi paling tidak seperti sosok Sri Mulyani, Margaret Thatcher, atau pemimpin wanita lainnya, yang tentu saja tanpa suami dan anak-anak itu.

Langit malam semakin sendu. Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Seorang laki-laki menyentuh pundakku dan menanyakan kenapa belum pulang. Aku hanya tersenyum. Ingin rasanya kucabik-cabik wajahnya dan kumuntahkan semua amarah itu.

“Iya, ini mau pulang,” tuturku. Dia hanya tersenyum.

“Robek mulutnya agar senyuman itu musnah selama-lamanya,” kata hatiku.

Aku kembali membalas senyumannya dengan senyuman lainnya. Aku bangkit dan kemudian melangkah pulang, sementara lelaki itu pergi ke parkiran. Di sana, seorang wanita cantik terlihat berada di dalam mobilnya. Entah siapa, aku tak mengenalnya.

Jalanan Jakarta mulai sepi. Malam semakin dingin. Sayup-sayup terdengar para lelaki tertawa. Entah dari mana asalnya atau siapa mereka.

Standard
FIKSI BERDIKSI, OPINI BERSERI

Robot 27

Because it's all not about 27.

Because it’s all not about 27.

Dia memulai ceritanya dengan sebuah cerita lainnya. Beberapa waktu lalu, temannya menanyakan dirinya apakah masih menerima gaji, mengingat temannya sudah beberapa kali menerima kabar penundaan penerimaan gaji.

Saat ini, tak terhitung jumlah media yang malang melintang di Tanah Air ini. Ada media yang memang notabene adalah media raksasa  bernama besar dengan sejarah mengagumkan. Ada juga media yang sekadar ikut-ikutan, buka sebulan, lalu gulung tikar.

Sebagai pekerja di dunia media, tentunya ketatnya persaingan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya akan memunculkan kekhawatiran tersendiri. Entah kekhawatiran seperti apa itu. Namun, yang jelas, ketika dia mengaku khawatir dengan angka 27, yakni ketika upah dibayarkan ke setiap pekerja, maka ini sungguh memilukan.

Tujuan utama bekerja memang untuk mencari uang guna memenuhi kebutuhan hidup yang semakin berat akibat harga barang-barang yang terus merangkak naik tanpa peduli apakah upah pekerja naik atau tidak.

Namun, apabila esensi sebuah pekerjaan itu hanya demi mencari 27, maka sangat disayangkan karena pekerja di media bukanlah robot atau mesin di pabrik yang hanya peduli pada target dan hasil. Sebuah proses untuk menjadi pribadi yang lebih baik pun terlupakan.

Akibatnya, esensi menuju kualitas lebih baik perlahan mulai hilang dan yang  tinggal hanya memacu kuantitas yang sebenarnya gampang sekali dicapai. Dunia kapitalisme telah mengubah segalanya. Yang di atas akan bersorak gembira ketika pendapatan meroket, sedangkan para robot pengejar target dibuai dengan kilau sepersejuta dari total keuntungan yang mereka raih.

Teori 27 ini sangat menyedihkan. Media kini tidak lagi menjadi penyedia informasi dan sarana edukasi bagi masyarakat. Sekarang, ia hanya menjadi sebuah mesin raksasa yang memproduksi banyak produk sama, tak istimewa,  bahkan terkesan mengejar kuantitas tanpa peduli kualitas.

Belum lagi, perusahaan kini mencoba menerapkan sistem edukasi nasional yang katanya modern, dengan menggunakan sistem pengelompokan antara golongan si pintar, si biasa-biasa saja, dan si bodoh. Sistem yang selama ini dikritisi karena banyak mendatangkan masalah justru ditelan mentah-mentah karena dianggap indah dan berfaedah.

Para robot juga semakin dipermainkan dengan sistem satu robot untuk 10 perusahaan dengan 10 keuntungan yang jika digabung akan mendatangkan senyuman para pemangku jabatan. Inilah yang disebut grup media yakni sebuah perusahaan media besar yang memiliki banyak media terintegrasi. Semuanya semakin kacau dan semerawut saja. Bisa dikatakan demokrasi tidak memberi kebebasan, tetapi kebablasan.

Saya teringat dengan kisah seorang murid yang ingin belajar kungfu menghadap gurunya. Sang guru hanya memintanya untuk mengambil air di puncak gunung, memikulnya, melewati 1.000 anak tangga, lalu membawanya ke kuil. Proses. Itulah esensinya.

Namun, sekali lagi, sistem pendidikan saat ini mencetak produk instan, tanpa proses panjang, sehingga tampak kuat di luar, tetapi rapuh di dalam. Terima kasih telah mengingatkan untuk bekerja demi 27, tetapi maaf, saya tidak sepikiran dengan Anda, dan mungkin, beberapa lainnya juga tidak sependapat dan, sekali lagi, hanya mampu diam.

Cobalah cari cara lain untuk menyemangati para robot Anda. Ubah mereka menjadi manusia. Hentikan celotehan 27. Jangan jadikan mereka besi tua yang tak punya hati, apalagi kata-kata. Selamat Pagi!

Standard
FIKSI BERDIKSI

Geulayang

Geulayang-aspx

Azan Subuh membangunkan Umi dan Abi. Aku yang sedari tadi telah terbangun masih merebahkan diri di atas kasur kapuk yang digelar di ruang tengah.

Kulihat Umi menuju dapur sedangkan Abi pergi ke sumur di belakang rumah untuk mencuci muka dan mengambil wudhu. Tubuh ini masih enggan untuk diajak bangun.

Di salah satu dinding rumah tersebut tergantung sebuah layangan yang kubuat sendiri sejak siang hingga malam tadi. Rasa bangga menyeruak karena dapat membuat layangan sendiri tanpa perlu membeli.

Menjelang Bulan Puasa, biasanya banyak anak-anak bermain layangan. Di antara rekan-rekan sepermainan, aku termasuk yang mahir dalam membuat layangan.

Kutatapi layangan yang terbuat dari kertas minyak berwarna merah dan kuning tersebut. Ekornya terburai panjang. Tak sabar hati ini menunggu hingga sore saat angin gunung datang dan membumbungkannya gagah ke angkasa raya sana. Anak-anak lain pasti merasa iri melihat layanganku dapat terbang paling tinggi.

Tiba-tiba Abi menepuk pundakku dan membuyarkan semua khayalanku. “Bangun. Ambil wudhu dan kita ke surau,” kata Abi. “Baik Abi,” tuturku.

Aku segera beranjak menuju sumur di belakang rumah. Dari pintu dapur kulihat Umi sedang menjerang air dan memasak nasi. Sementara itu, di salah satu kompor minyak lainnya, terlihat wajan berisi minyak panas dengan harum khas pisang goreng yang nantinya akan kubawa untuk dijual di kantin sekolah.

Dinginnya air sumur meresap ke dalam pori-pori kulit saat kubasuh wajahku. Dari sela-sela dedaunan pohon kelapa, kulihat bulan berwarna merah malu-malu bersembunyi dibalik awan hitam.

Langit masih gelap, ufuk belum juga memperlihatkan samarnya. Terdengar suara alunan ayat-ayat suci dari pengeras suara surau yang menandakan sebentar lagi kami akan bersujud menghadap Tuhan.

Aku berjalan bersama Abi menuju surau. Ibu biasanya tidak ikut karena harus menjaga adik perempuanku yang masih tidur. Dia berumur 5 tahun, sedangkan Aku akan merayakan ulang tahun ke delapan pada Ramadhan nanti.

Abi adalah seorang pekerja keras. Selepas Subuh, Abi akan ke kebun untuk memetik sayuran dan mengambil telur ayam dan itik untuk dimasak sebagai sarapan dan sisanya akan dijual ke pasar.

Dia akan pulang selepas Ashar dan selalu membawa kue yang baru boleh kami makan apabila kami telah selesai mengaji di Surau. Abi akan menjemput kami dan mengajak ke kebun untuk memakan kue tersebut sambil memetik sayuran untuk dimasak buat makan malam.

Selepas menghadap Tuhan dan berdoa, Abi yang duduk di sampingku tiba-tiba mencium keningku. Aku yang sedari tadi terkantuk-kantuk agak kaget karena Abi jarang sekali mencium anak-anaknya.

Abi berpesan padaku untuk belajar dengan sungguh. Dia selalu mengharapkan suatu hari nanti aku dapat menjalani hidup lebih baik darinya saat ini yang hanya mampu menjadi petani di kebun dan pedagang di pasar.

Aku hanya menganggukkan kepala lalu mencium tangan Abi. Kami lalu kembali ke rumah. Aku yang sedari tadi merasa sangat ngantuk akhirnya langsung merebahkan diri di atas kasur. Umi dan Abi hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat ulahku.

Aku hanya tersenyum manja menatap mereka dengan perasaan tak bersalah. “Ngantuk,” ujarku. Beberapa detik kemudian aku sudah terbang ke alam mimpi bersama layanganku. Kami melayang ke angkasa sana, tinggi hingga menjadi sebuah titik.

Pukul 6.30 pagi. Terdengar sayup-sayup ayam berkokok bersahut-sahutan. Umi membangunkanku. Tercium aroma kopi yang biasanya disajikan untuk Abi setiap pagi. Umi menyuruhku mandi.

“Cepat kau mandi dan susul Abi di kebun. Sudah jam segini Abi belum juga pulang. Katakan agar lebih cepat dan jangan mengobrol dengan Pak Hasan yang menjaga kebuh sebelah kita,” kata Umi.

Aku bergegas ke sumur belakang dan menyiram tubuhku dengan air sumur yang sejuk. Sejak umur 5 tahun, Abi sudah mengajariku untuk mandiri, salah satunya adalah dengan mandi, berpakaian, dan menyiapkan segala keperluan sekolah sendiri.

Namun demikian, terkadang Umi masih memeriksa tasku untuk mengecek apakah ada buku atau peralatan sekolah yang tertinggal agar aku tidak dihukum di sekolah.

Selesai mandi aku segera berpakaian dan bergegas menuju kebun yang berjarak sekitar 200 meter dari tempat tinggal kami. Sesampainya di sana, kulihat Abi tengah duduk di gubuk kecil di tengah kebun.

“Abi, Umi suruh pulang. Disuruh makan,” teriakku.

Abi yang melihatku langsung beranjak dari gubuk dan menuju ke arahku. Di keranjang pikulannya aku hanya melihat sejumlah sayuran dan beberapa butir telur.

“Umi sudah masak apa?” tanya Abi. “Ada nasi goreng dan telur dadar,” kataku.

“Syukurlah. Hari ini ayam dan itik sangat sedikit yang bertelur. Tidak biasanya. Syukurlah masih ada sayur yang bisa dijual,” ujar Abi.

Aku menarik tangan Abi dan mengajaknya pulang. Kami berjalan bersama sambil mengobrol tentang pelajaran di sekolah. Abi yang hanya lulus SMP masih suka mengajariku membaca, menulis, dan ilmu pengetahuan alam.

Abi pernah bercerita kalau dahulu dia pernah menjadi juara cerdas cermat ilmu alam SMP di tingkat provinsi. Meskipun Abi tergolong anak yang cerdas, dia tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Kedua orang tuanya dipanggil Tuhan karena kecelakaan. Sejak saat itu, Abi yang merupakan anak tertua terpaksa berhenti sekolah dan bekerja menggarap kebun peninggalan orang tuanya guna menghidupi kedua adiknya yang masih kecil.

Usaha gigih Abi berhasil mengantarkan kedua adiknya sarjana. Adik laki-laki Abi kini menjadi seorang guru, sementara adik perempuannya menjadi seorang dokter. Keduanya bekerja di kota.

Setiap tiga bulan sekali mereka menjenguk Abi dan memberikan sejumlah uang untuk membiayai sekolahku. Meskipun Abi hanya menjadi seorang petani dan pedagang, dia tidak pernah menyesali keputusannya.

Sesampainya kami di rumah, aku langsung mencuci tangan dan menyantap sarapan yang disediakan Umi. Pukul 7.15, aku pamit dan menyalami tangan Umi dan Abi untuk berangkat ke sekolah.

Aku berjalan kaki ke sekolah yang berjarak 500 meter dari rumah dengan membawa plastik hitam yang berisi penuh pisang goreng. Pisang goreng tersebut dijual Rp500 per buah. Setiap hari aku dapat membawa pulang Rp20.000 apabila semua pisang terjual. Uang itu akan dipakai Umi untuk membeli keperluan sehari-hari dan ditabung untuk biaya sekolahku.

Hari itu, semangat untuk belajar tiba-tiba terusik dengan pikiran untuk segara menerbangkan layangan baruku. Aku menjadi gerah karena Ali membawa layangan barunya ke sekolah. Dia mengajakku untuk mengadu layangannya dengan milkku.

Sepanjang guru mengajar, aku terus memikirkan tantangan tersebut. Di satu sisi, sebagai seorang laki-laki, aku pantang pulang ketika ditantang. Namun di sisi lain, aku memikirkan benang layanganku yang tidak cukup untuk diadu. Pasti aku akan kalah.

Pikiranku semakin berkecamuk karena sepulang sekolah aku harus mengaji di Surau. Aku tidak mungkin bolos mengaji karena Abi pasti akan sangat marah. Namun, gengsiku juga tidak mungkin menolak tantangan tersebut.

Sepulang sekolah, aku langsung berlari. Namun, penjaga kantin sekolah berteriak memanggilku karena aku lupa mengambil uang hasil penjualan pisang goreng dan sisanya yang tidak terjual. Pikiranku yang bergejolak hampir saja membuat Umi tidak memiliki uang untuk belanja kebutuhan esok hari.

Aku bergegas menuju si penjaga kantin untuk mengambil uang dan sisa pisang goreng lalu mengucapkan terima kasih dan berlari menuju pasar. “Aku harus membeli benang layangan yang lebih tebal dan kuat,” batinku.

Di pasar, aku segera menuju kios penjual benang. Aku meminta benang yang paling tebal dan kuat. Si penjual memberikanku benang seharga Rp2.500 per gulung. Aku merogoh kantong celanaku dan hanya menemukan selembar uang seribuan.

Aku melirik plastik pisang goreng yang didalamnya terdapat plastik berukuran lebih kecil berisi uang hasil penjualan pisang goreng. Aku bimbang. Tidak mungkin aku mengambil uang tersebut.

Namun, kuberanikan diri untuk membuka plastik kecil tersebut dan menghitung hasil penjualan pada hari itu. Setelah kuhitung ada Rp19.500. Aku menimang-nimang uang itu. “Jadi beli, dek?” tanya si penjual benang.

“Jadi,” ujarku. Kuserahkan uang Rp2.500 dan dia memberikan benang tersebut. Benang itu cepat-cepat kumasukkan ke dalam tas dan kuselipkan di bawah buku sekolahku. Aku mengitung kembali uang yang tersisa. Ada Rp18.000.

“Hmmm, kukatakan saja pada Umi kalau aku memakan 3 buah pisang goreng yang tersisa karena lapar. Biasanya Umi juga akan menyuruhku memakan pisang goreng sisa yang kubawa pulang. Tidak masalah,” pikirku.

Aku memang terkenal pintar menghitung di sekolah. Entah mengapa kali ini otakku bekerja begitu cepat untuk menyusun skenario yang sempurna agar Umi tidak curiga dan memarahiku karena memakai uang tersebut tanpa izin.

Meskipun telah menemukan alibi yang bagus, hatiku tidak tenang seperjalanan pulang menuju rumah. Baru kali ini aku membohongi Umi. Sesampai di rumah, kulihat Umi sedang mencuci pakaian di belakang.

Aku letakkan plastik tersebut di atas meja makan dan segera berganti pakaian dengan baju koko dan kain sarung. Kemudian, aku menuju ke belakang dan berpamitan kepada Umi untuk pergi mengaji.

“Kenapa tak bilang kalau kau sudah pulang? Sudah makan siang?” tanya Umi. “Sudah Umi. Sekarang mau pergi mengaji,” kataku dengan pasti.

“Hati-hati. Nanti tunggu Abi pulang. Mala kau jaga. Jangan biarkan dia sendirian,” tutur Umi. “Baik, Umi,” jawabku.

Kemudian aku segera masuk kembali ke rumah. Kulihat Mala, adik perempuanku, sudah siap untuk mengaji. Aku berjinjit-jinjit mengambil layangan baruku. Mala heran melihat tingkahku. Untungnya dia tidak berkomentar apa-apa.

Mala memang agak pendiam. Dia jarang berbicara dan suka menyendiri. Banyak yang bilang dia memiliki keterbelakangan mental. Namun, semua anggapan tersebut terbantahkan karena di  Surau dia pintar mengaji dan mampu menghafal banyak surat-surat pendek.

Pukul 13.30 kami tiba di Surau. Di sana, Ali dan empat temanku lainnya sudah bersiap dengan layangan masing-masing. Aku menyuruh Mala untuk segera masuk ke Surau. Kami berlima kemudian menaiki tangga menuju menara Surau.

Dari salah satu jendela menara tersebut, kami bisa mencapai atap Surau yang cukup luas untuk bermain layangan. Hari itu, panas matahari tidak terlalu terik dan angin gunung yang sejuk membuat permainan layangan semakin menyenangkan.

Satu persatu layangan terbang membumbung tinggi di angkasa. Dari bawah atap kami berpijak, terdengar suara anak-anak mulai mengaji. Sesuai khayalanku pada pagi hari tadi, layangan berwarna merah dan kuning terbang paling tinggi mengalahkan yang lain.

Kami belum memulai aduan. Setengah jam puas melihat kelima layangan berliuk-liuk di langit biru, kami memulai pertempuran. Dengan lihai aku menggerakkan benang untuk menghindari serangan.

Matahari mulai bersinar terik karena awan yang menutupinya perlahan mulai pergi tertiup angin. Satu layangan putus dan terbang menuju lembah bukit. Kami tertawa kegirangan. Sebuah layangan lainnya berwarna biru juga mengalami nasib yang sama. Kami semakin bersemangat.

Aku mencoba memainkan layanganku agar berdiri sejajar dengan matahari sehingga Ali kesulitan melihatnya. Kemudian, aku bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang layangan miliknya.

Aku terus mencoba. Layangan berekor panjang terburai tersebut meliuk ke kiri dan ke kanan. Silau cahaya matahari membuat mataku perih. Begitu aku melihat keadaan di sekeliling, semuanya terasa gelap. “Itu biasa terjadi,” pikirku.

Namun, tiba-tiba aku merasa linglung. Badanku bergetar kehilangan keseimbangan. Aku sempat melihat layangan merah dan kuning tersebut meliuk ke kiri dan ke kanan mencoba menyerang layangan milik Ali.

Kepalaku semakin pusing. Tubuhku bergetar hebat. Aku kehilangan pijakan. Tubuhku oleng ke kanan. Ketika aku mencoba bangun, kurasakan langit berguncang hebat. Aku mendengar teriakan. Semuanya menyebut asma Tuhan.

Aku sempat melihat Ali terbanting jatuh dan temanku lainnya terperosok ke bawah. Aku juga sempat melihat layangan merah dan kuning berekor panjang terburai masih terbang dengan gagahnya di langit biru.

Aku sempat mendengar teriakan Mala yang jarang berbicara itu. Aku kembali melihat langit biru dan layanganku. Kulihat Mala mencoba keluar dari reruntuhan dengan kaki kanan yang putus berlumuran darah.

Di pasar, tubuh Abi kaku terimpit seng. Di rumah, Umi menangis histeris. Mala hanya tersenyum kepadaku. Tidak tampak setetes pun air mata di pelupuk matanya.

Aku masih melihat layangan itu berdiri tegak di angkasa membawa angin gunung yang sejuk, kemudian sunyi, sepi, dan senyap.

Layangan merah dan kuning berekor panjang terburai membumbung semakin tinggi menembus cakrawala.

— Bener Meriah (2/7/2013) —

6.2-magnitude earthquake struck Aceh

The death toll rose to 35 including 20 children trapped under the rubble of a collapsed mosque.

People hurts. About 5.000 houses collapsed.

PRAY FOR ACEH

*Geulayang: Layangan

Standard
FIKSI BERDIKSI

Buku Biru

Buku Biru

Sebuah buku berwarna biru muda disodorkan. Penjaga loket itu, tanpa senyuman, menyuruh wanita muda berambut pendek sebahu untuk menandatangani surat bukti bahwa dirinya telah menerima buku biru itu.

Buku biru setebal kira-kira seratus halaman itu ditimbang-timbangnya. Setelah itu, wanita yang berbalut peluh itu menuju deretan meja dan tempat duduk yang kosong. Malam sudah menunjukkan pukul 10. Wanita itu membaca sebuah kata yang mengusik hatinya: “Pembinaan”.

Sambil tersenyum, dia mengeluarkan telepon genggamnya yang memiliki kamera kecil, lalu memotret buku biru itu. Kemudian, gambar buku biru yang lucu itu telah tersebar kemana-kemana. Kini, pikiran wanita muda yang akan berulang tahun ke-25 pada bulan depan tersebut menerawang kemana-mana. Matanya yang sayu dan wajahnya yang pucat seolah memancarkan kepedihan. Namun, senyuman tetap tersungging di sudut bibirnya.

—–

Hari sebelumnya.

Sejak pukul 8 pagi, wanita mungil tersebut telah keluar dari kamar sewanya dan berjalan dengan penuh semangat menuju pemberhentian bus terdekat. Kira-kira hampir 15 menit berjalan, dia tiba di halte bus yang dituju.

Karcis seharga Rp3.500 telah ada di genggamannya. Antrian panjang para pekerja yang memenuhi halte tersebut tak membuatnya patah semangat. Tubuh kecilnya tetap berusaha menyeruak di antara kerumunan manusia untuk dapat masuk ke bus yang sudah sesak. Ya, setiap hari bus itu sesak dipenuhi manusia karena pemerintah tak kunjung menambah jumlah armadanya.

Sesampainya di tempat tujuan, wanita itu sudah siap dengan buku catatan, sebuah pena, dan alat perekam. Sambil menunggu target hari ini, dia sibuk menulis beberapa kalimat di buku catatannya. Sesekali perutnya berbunyi karena belum diisi sedari pagi.

Makanan yang terakhir kali masuk ke perutnya adalah semalam, pada pukul 11. Jarang sekali dia makan selarut itu. Malam itu, dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan secara tiba-tiba oleh atasannya. Jemarinya berdansa di atas keyboard laptopnya. Mengetik setiap kata yang keluar dari alat perekam.

Setelah menulis beberapa catatan, wanita berbaju batik tersebut menyapu keringat di dahinya. Dia merasa sedikit pusing karena kekurangan tidur dan belum bertemu sarapan. Meskipun demikian, ia tetap mengawasi orang yang berlalu lalang di tempat tersebut, berharap si target lewat dan dia dapat merampungkan tugas pertamanya hari itu.

Sejam berlalu. Dia dan beberapa rekannya masih menunggu. Mereka mengisi waktu yang kosong itu dengan berbicara banyak hal, mulai dari isu-isu yang berat hingga obrolan wanita pada umumnya.

Setengah jam berlalu hingga akhirnya target yang mereka cari hari itu muncul. Sesuai dengan ekspektasi, tugas pertamanya selesai. Senyum wanita itu tersungging di wajahnya yang pucat.

Hari beranjak siang. Akhirnya, ada makanan yang berhasil masuk ke perutnya. Setidaknya, pusing yang sedari tadi dirasanya mulai berkurang dan semangatnya yang mulai padam kembali menyala.

Pukul 2 siang, wanita itu masih bersabar menunggu target berikutnya. Antara semangat yang menyala, rasa jenuh, bosan, dan marah, dia berusaha untuk tetap tenang. Bahkan dalam kondisi kesehatan yang kurang baik, dia berusaha tegar dan mengerjakan semua tugas-tugasnya.

Wajahnya semakin pucat. Namun, dia berusaha tetap bersemangat. Padahal, kondisi di dalam dirinya hancur berkeping-keping dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk menjadi satu.

Dia kembali teringat ibunya. Wajah tua itu dengan senyum manisnya seolah menjadi penyemangat dalam setiap kegetiran yang dialami. Dia yakin dari balik pelangi dan awan biru, ibunya selalu memperhatikannya dan melemparkan kekuatan.

“Ibu, apakah kau sedang merindukanku? Aku merindukanmu,” batinnya.

Tiba-tiba dia dikagetkan oleh rekannya yang mengatakan target telah muncul. Mereka bergegas berlari mengejar target untuk mendapatkan apa yang mereka cari. Walaupun hasil yang didapatkan tidak terlalu sempurna, setidaknya dapat menuntaskan pekerjaan hari itu.

Pukul 6 petang, pekerjaan sudah rampung. Dari balik bangunan berkaca itu, cahaya matahari senja menyentuh kulitnya dan seolah membisikkan bahwa dia harus segera pulang dan beristirahat.

Namun, sebelum pulang, dia harus menemui penjaga loket itu untuk mengambil buku biru.

Matahari sudah pergi dan malam hari datang dengan kegelapan. Malam itu tak ada bintang. Dinginnya udara malam memeluk tubuh kurus wanita itu.

Dia terpaksa berjalan karena lalu lintas petang tidaklah bersahabat. Banyak kendaraan terjebak dalam kemacetan. Satu-satunya langkah untuk cepat sampai ke tujuan adalah dengan berjalan.

Peluh kembali membasahi tubuhnya. Hari menunjukkan pukul 8 malam. Dia sudah menempuh setengah perjalanan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dalam kegelapan, dia duduk sendirian di pinggiran pagar sebuah hotel berbintang.

Dia membuka tas kecilnya dan mencoba mencari sebuah botol minuman. Ketika menemukannya, dia menggoyang-goyangkan botol tersebut. Sayangnya, tidak air tersisa untuk menghapus dahaga.

Dia duduk agak lama sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang. Setiap orang sangat terburu-buru, pikirnya. Semua bergerak penuh kecepatan sambil membawa masalah dari kantor ke rumah atau sebaliknya.

Sejenak dia menerawang ke langit malam. Terlihat wajah ibunya yang tersenyum dengan tatapan yang berusaha menyemangatinya. Dia kemudian bangkit dan kemudian melanjutkan perjalanan mengambil buku biru itu.

—–

“Buku pembinaan,” batinnya.

Mengapa kami harus dibina? apakah kami melakukan kesalahan seperti para narapidana yang selama ini harus dibina oleh pemerintah? Atau apakah kami seperti para gelandangan di jalanan yang harus diamankan oleh Satpol PP lalu dibina agar menjadi orang yang lebih berguna?

Semakin hari, kondisi di tempat ini semakin membuat kepalanya terus berputar. Semakin hari, semakin sedikit kata-kata yang tersedia untuk menjabarkan ini semua.

Dalam tubuh lemahnya, wanita itu beranjak dan berjalan pulang. Malam itu dingin, sedingin hatinya yang telah membeku sejak beberapa tahun lalu. Namun, semangatnya untuk memberikan yang terbaik tak pernah lekang.

Dari balik awan hitam, ibu dari wanita itu memandang.

Standard
FIKSI BERDIKSI

Ikan

Kau adalah seekor ikan yang berenang tanpa arah dan tujuan. Terkadang kau berada di antara bebatuan. Sering kali kau berada di bawah dedaunan yang jatuh dari pepohonan.

Hampir 10 tahun kau telah berada di sungai ini. Sisik-sisikmu telah memudar warnanya, mengurangi kemilaumu ketika sinar matahari menerobos air sungai yang bening dan hangat.

Kau adalah seekor ikan besar yang biasa-biasa saja. Kau bukanlah raja walaupun di antara ikan yang lain kau paling tua. Kau bukanlah yang paling kuat karena gigi kecilmu hanya mampu mengoyak dedaunan atau mengunyah plankton.

Kau bukanlah penjaga karena tubuhmu yang besar membuatmu lambat bergerak sehingga tak ada ikan lain yang dapat kau lindungi kecuali kau lari bersembunyi.

Meskipun demikian, kau tidak pernah tersangkut kail atau terjebak dalam pukat para nelayan. Entah kau amat beruntung atau takdir Tuhan yang membiarkanmu hidup di sungai dan segala kebahagiannya.

Setiap malam kau berdoa kepada Tuhan sambil menatap bulan yang dengan setia menemani malam-malammu yang membosankan.

Doamu sangat sederhana: “Tuhan, biarkan aku hidup sepuluh tahun lagi hingga sisik-sisik ini tak lagi berwarna.”

Namun, mengapa kau meminta demikian? Apakah hidup lebih lama akan membahagiakanmu walau kau bukanlah makhluk yang berguna?

Apakah kau ingin menikmati kehidupanmu di sungai yang sama, dengan ketenangan yang dibaluti kesenyapan karena jarang sekali nelayan yang datang untuk mencari ikan?

Atau kau merasa semua kenyamanan ini sudah sempurna?

Mungkin kau harus berkaca pada ribuan salmon yang bermigrasi melawan arus sungai yang deras dan dingin dengan risiko mereka akan mati. Atau pada ratusan kerbau liar yang menyebrangi sungai di sebelah sana yang penuh dengan buaya.

Mungkin juga kau harus mencoba masuk ke dalam jaring nelayan dan membiarkan dirimu dibawa ke kota hingga akhirnya kau merasakan kengerian, ketegangan, dan ketakutan bahwa sebentar lagi tubuhmu akan dibelah, dimasukkan ke minyak mendidih, lalu berakhir di atas sebuah meja pesta.

Seekor Elang bertengger di pucuk sana. Keluarlah, dan biarkan dia menangkap dan membawamu ke angkasa, mungkin hanya untuk melihat dunia, untuk yang terakhir kalinya.

Standard